Senin, 12 Mei 2008

KURSUS: Pendidikan Luar Sekolah
Oleh: Nur Shobah 1102406014

Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan jalur pendidikan luar sekolah. Jalur pendidikan luar sekolah merupakan pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan bersinambungan. Satuan pendidikan luar sekolah meliputi kursus/lembaga pendidikan ketrampilan dan satuan pendidikan yang sejenis.

Di tengah krisis ekonomi seperti sekarang, kursus/lembaga pendidikan ketrampilan ini barangkali harus lebih dikedepankan. Kegiatan kursus bukan hanya memberi harapan pada anak putus sekolah yang sulit mencari kerja tetapi juga memberikan jalan bagi banyaknya jumlah lulusan SLTA yang tak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi sehingga lembaga kursus selalu mendapat tempat. Di tangan para pengelolanya, lembaga pendidikan ini bisa bergerak cepat mengikuti irama perkembangan dan tuntutan yang terjadi di masyarakat.

Begitu cepatnya antisipasi yang dilakukan para penyelenggara kursus atas tuntutan masyarakat, sangat boleh jadi, lembaga pendidikan nonformal ini tidak begitu berat terkena pukulan akibat krisis ekonomi. Menurut mereka, lulusan SMTA yang akan memasuki perguruan tinggi perlu berpikir ulang, baik mengenai biaya maupun lama waktu belajar yang harus ditempuh. Apalagi, setelah selesai kuliah, para lulusan perguruan tinggi pun belum tentu mudah mendapatkan pekerjaan.

Meski kursus masih dipandang sebelah mata, anak tiri dalam sistem pendidikan di Indonesia itu kini telah tumbuh menjadi sebuah bidang usaha yang nyaris tanpa batas. Tidak sedikit perguruan tinggi swasta bercikal bakal dari kursus. Lembaga-lembaga kursus di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh sangat pesat dan berkembang menjadi industri mimpi yang menggiurkan. Banyak warga masyarakat yang rela membayarkan uangnya beratus ribu atau jutaan rupiah sekadar untuk mewujudkan impian. Bahwa kemudian mimpi indah itu tidak terwujud, adalah kenyataan lain yang tidak pernah disesali.

Terlepas dari keberhasilan sejumlah lembaga kursus berkembang menjadi industri jasa yang cukup menjanjikan, masih lebih banyak lembaga kursus yang berjalan terseok-seok. Begitu banyak kursus yang hidupnya hanya seumur jagung. Menurut pengurus Hipki (Himpunan Penyelenggara Kursus Indonesia) anggota mereka mencapai 25.000 lembaga kursus yang terbagi dalam 10 rumpun dengan 160 jenis keterampilan. Berapa jumlah sebenarnya kursus yang ada di Indonesia mungkin tidak akan pernah terjawab karena demikian banyak kursus yang berdiri dan ditutup dalam waktu relatif singkat.

Berdasarkan fungsinya, jenis-jenis lembaga kursus itu dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu: pertama, sejenis Bimbingan Tes yang bertujuan meningkatkan kemampuan belajar melalui pelajaran tambahan untuk bidang-bidang tertentu seperti IPA, matematika, bahasa Inggris, dan lain-lain dengan sasaran untuk semua pelajar SD-SMTA. Tapi ada yang khusus untuk pelajar pada tingkat tertentu saja, misalnya kelas III SMTA yang akan mengikuti tes UMPTN.

Jenis kedua adalah Kursus-kursus Keterampilan yang bertujuan memberikan atau meningkatkan keterampilan mengetik, kecantikan, bahasa asing, akuntansi, montir, menjahit, sablon, babysitter, dan lain-lain. Sasaran lembaga ini mayoritas adalah para lulusan SMP dan SMTA yang memerlukan sertifikat keterampilan untuk mencari kerja.

Jenis ketiga adalah Pengembangan Profesi, seperti kursus sekretaris atau humas perusahaan, akuntan publik, kepribadian, dan lain-lainnya. Sasarannya tamatan SMTA sampai perguruan tinggi, dari yang belum bekerja sampai yang sudah bekerja, namun ingin meningkatkan profesionalismenya. Jenis ketiga ini lebih ke arah pembentukan image dalam masyarakat, bukan hanya sekadar memberikan keterampilan teknis saja. Karena itu dari segi waktu pelaksanaan kursus lebih panjang (antara enam bulan sampai dua tahun).

Selain banyak dan beragamnya jenis lembaga kursus, pembinaan terhadap lembaga ini sering menjadi masalah. Dukungan pemerintah terhadap penyelenggaraan pendidikan luar sekolah selama ini sangat minim. Padahal lembaga kursus membutuhkan dukungan yang lebih besar agar bisa berkembang, terutama menghadapi era global di mana akan terbuka peluang bagi lembaga-lembaga kursus asing masuk ke Indonesia. Hal ini ditambah dengan kenyataan bahwa selama ini ada kesan lembaga kursus diperebutkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Departemen Tenaga Kerja. Akibatnya, dalam pembinaan maupun perizinan terjadi tumpang-tindih antara keduanya.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah kemudian mengeluarkan ketentuan baru. Kebijakan baru di bidang pendidikan dan pelatihan ini memberikan penegasan tentang perbedaan antara kursus yang berada di bawah wewenang Departemen P dan K dan latihan kerja yang berada di bawah Departemen Tenaga Kerja. Kursus adalah pendidikan luar sekolah yang program-programnya diadakan untuk mereka yang belum ada kejelasan tempat kerja yang akan menampung. Sedangkan pelatihan kerja adalah pendidikan pelatihan untuk mengisi lowongan kerja tertentu.

Menyusul dikeluarkannya ketentuan baru dalam pendidikan dan pelatihan ini, akan segera dilakukan standardisasi dan akreditasi untuk jenis-jenis kursus tertentu. Badan akreditasi kursus ini akan terdiri dari unsur-unsur Departemen P dan K, asosiasi profesi, dan industri. Namun demikian, sulit diharapkan akreditasi dapat menjangkau seluruh lembaga kursus yang jenisnya berbagai macam, mulai dari kursus sekretaris hingga kursus membuat kue. Dari sekitar 25.000 lembaga kursus, lebih separuhnya masih tergolong lembaga kursus kecil.

Sudah sepantasnya kursus tidak dianaktirikan lagi dalam sistem pendidikan nasional. Dengan keanekaragamannya, lembaga ini mempunyai sifat dan tujuan yang sama, yakni sebagai penunjang atau pelengkap dari sistem persekolahan yang ada. Sebagai pemacu karier bagi yang sudah bekerja, dan sebagai bekal keterampilan bagi yang belum bekerja. Intervensi pemerintah dalam batas-batas tertentu memang diperlukan, khususnya untuk memacu mutu tenaga pengajar di lembaga-lembaga tersebut.

1 komentar:

wibowo mengatakan...

bagaimana nich kan skr udah ada uu 20 tahun 2003